Sejarah selalu berhubungan dengan eksistensi manusia dan perannya semasa masih hidup di dunia. Tidak ada sejarah tanpa manusia dan tidak ada sejarah tanpa kehidupan. Karenanya sejarah selalu berbicara tentang peristiwa yang benar-benar pernah terjadi dan menempatkan manusia sebagai aktor sentralnya. Selanjutnya, dengan bersandar pada kenyataan bahwa manusia merupakan makhluk sosial maka dalam peran sejarah pun akan menyertakan keberadaan manusia-manusia lainnya yang hidup secara komunal, baik itu dalam bentuk komunitas keluarga, kerabat, suku bangsa, hingga bangsa. Akibatnya, sejarah tidak hanya mampu memberi eksplanasi tentang peran manusia secara individual tetapi juga mampu memberi eksplanasi tentang peran manusia secara kolektif.
Media
- Era pra-literasi (40.000 SM – 1500) : meliputi kebudayaan oral hingga edia cetak awal, didominasi oleh mediasi ritual dan sosial serta dunia mistik yang penuh kekerasan dan kebrutalan
- Era literasi (1500 – 1900) : meliputi tulisan dan media cetak; berkembang setelah galaksi Gutenberg, khususnya periode abad tengah dan renaissance, dan terutama sekali setelah ditemukannya ‘mesin cetak’
- Era eletronik (1900 – 2000) : media elektronik, 2000- sekarang : media digital
Epos utama sejarah komunikasi adalah :
- Pra modern (oral dan media cetak awal)
- Modern (media cetak dan media elektronik)
- Post modern (media digital)
Pada resume ini akan disampaikan review singkat mengenai media massa khususnya kebudayaan oral hingga film dalam negeri.
Budaya Oral
Oralitas dapat didefinisikan sebagai pemikiran dan ekspresi lisan dalam masyarakat di mana teknologi literasi (khususnya menulis dan mencetak) masih asing untuk sebagian besar penduduk. Kajian studi oralitas sangat berkaitan dengan studi tradisi lisan. Namun, kajian oralitas memiliki implikasi yang lebih luas, secara mutlak menyentuh setiap aspek ekonomi, politik dan kelembagaan serta pengembangan sumber daya manusia dari masyarakat lisan. Studi oralitas memiliki implikasi penting untuk pembangunan internasional, khususnya yang berkaitan dengan tujuan pengurangan kemiskinan, serta proses globalisasi.
Walter J. Ong, peneliti terkemuka dalam bidang ini, membedakan dua bentuk oralitas: ‘primary orality’ atau oralitas primer dan ‘residual orality’ atau oralitas residual. 'Primary orality' merujuk kepada pemikiran dan ekspresi verbal dalam budaya yang sepenuhnya tidak tersentuh oleh pengetahuan menulis atau mencetak. Dengan kata lain, zaman kelisanan primer lebih menghargai penyebaran ilmu pengetahuan secara lisan dan mengandalkan ingatan kuat para cendekiawan. 'Residual orality' merujuk kepada pemikiran dan ekspresi verbal dalam budaya yang telah terkena budaya menulis dan mencetak, tetapi belum sepenuhnya 'interiorized' (dari istilah dalam McLuhan) penggunaan teknologi tersebut dalam kehidupan mereka sehari-hari. Saat sebuah budaya mulai mengintegrasikan teknologi literasi, maka ‘residu oral’ pun menghilang.
Surat Kabar
Johannes Gutenberg dari Jerman menemukan mesin cetak (press) pada tahun 1453 yang awalnya digunakan untuk mencetak Bible. Sebelum ada revolusi Gutenberg, buku-buku di Eropa disalin dengan menggunakan manuscript. Selain memakan waktu yang lama, harga buku-buku tersebut tergolong mahal dan hanya bisa dibeli oleh orang-orang yang mampu. Dengan ditemukannya mesin cetak, perkembangan ilmu dan pengetahuan waktu itu semakin pesat, bahkan tidak hanya untuk bangsa Eropa saja tetapi juga sampai ke Timur Tengah. Melalui buku-buku yang dicetak pada waktu itu, minat baca masyarakat menjadi tinggi. Bible yang awalnya ditulis manual oleh Gutenberg saat itu juga dicetak dengan bahasa lain, tidak hanya menggunakan bahasa Latin. Penemuan mesin cetak pun memunculkan penerbitan
Telegraf
Pada pertengahan abad 19, seorang warga Amerika Serikat bernama Samuel F.B. Morse menemukan sebuah alat komunikasi yang dinamakan telegraf. Telegraf merupakan proses penyampaian berita/informasi berupa gambar, atau grafik, tanda, isyarat dalam jarak jauh melalui perangkat telegraf yaitu kode morse. Telegraf biasanya digunakan dalam pengiriman dokumen resmi untuk perjanjian bisnis atau untuk pengiriman pesan rahasia. Meskipun saat itu, telegraf bukan ditujukan sebagai bentuk komunikasi
Fotografi
Fotografi (Photo: cahaya dan graphy: lukisan/tulisan) adalah proses atau metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya. Alat paling populer untuk menangkap cahaya ini adalah kamera.
Pada abad ke-5 sebelum masehi, MoTi berhasil menemukan gejala fotografi camera obcura untuk pertama kali. Ibn Al-Haitham, seorang Arab juga menemukan menemukan gejala yang sama. Foto pertama dibuat pada tahun 1826 selama 8 jam. Louis Jacques mande Daquerre merupakan bapak fotografi dunia (1837). Kamera Obcura merupakan kamera yang pertama kali yang dipakai untuk menggambar kemudian memotret.
Konstribusi fotografi ke dunia film pertama kali di pelopori oleh Eadward Muybridge. Flash atau lampu kilat pertama kali ditemukan oleh Harold E. Edgerton pada tahun 1938. Penemu negative film adalah John Hendri Fox Talbot dari Inggris. Negatif film tersebut di buat selama 40 detik dibawah terik matahari. Selanjutnya perkembangan fotografi ini akan merintis jalan menuju kemunculan film.
Film Dalam Negeri
Auguste dan Louis Lumiere menemukan sinematografi, yaitu alat pemutar film. Pada 1895 Lumiere bersaudara ini untuk pertama kalinya memutar film di kota Paris tepatnya di Grand Cafe dengan cara memungut bayaran dari penonton. Pada awalnya, film yang dipertontonkan adalah film pendek tentang kehidupan manusia sehari-hari. Perkembangan film kemudian makin meluas ke seluruh Eropa, termasuk Belanda. Film kemudian diekspor ke koloni – koloni bangsa Eropa termasuk ke Hindia Belanda.
Pada tanggal 5 Desember 1900 warga Betawi untuk pertama kalinya dapat melihat pertunjukan film. Pertunjukan ini berlangsung di Tanah Abang, Kebonjae. Film lokal pertama di Indonesia berjudul “Loetoeng Kasaroeng” (1926) diambil dari cerita rakyat Jawa Barat. Penyutradaraan film ini dilakukan oleh Heuveldorf, sementara pemainnya adalah anak – anak dari Bupati Bandung Wiranata Kusuma II.
Maklum saja pada pertengahan tahun 1920-an itu film masih merupakan film bisu dan dijadikan tontonan umum. Pada masa itu, sopan santun dan etiket menonton sangat dijaga. Tahun 1931-an, perfilman Indonesia mulai bersuara dan berkembang dengan pesat hingga Pemerintahan Hindia Belanda mulai melakukan pengawasan ketat kepada perkembangan perfilman dengan membentuk Film Commissie yang menjadi cikal bakal lahirnya Badan Sensor Film atau LSF di masa kini. Sejak era kejayaannya pada tahun 1970-1990, perfilman Indonesia sempat mengalami kemunduran hingga akhirnya kini mulai bangkit kembali.
Rabu, 25 November 2009
PERKEMBANGAN MEDIA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar